Senin, 26 September 2011

Bahaya Laa Madzhab Bagi Awwam

Laa Madzhab atau tidak bermadzhab adalah tidak beriltizam kepada salah satu madzhab. Paham Laa Madzhab mengajarkan bahwa orang awwam tidak perlu taqlid ataupun bermadzhab atau beriltizam memegang salah satu madzhab tertentu.

Menurut klaim sebagian kelompok, paham Laa Madzhab dibangun atas dasar ittiba’ kepada Rasulullah dan mereka juga mengklaim bahwa iltizam kepada salah satu madzhab itu dapat memecah belah kaum Muslimin.
Tetapi, apakah paham Laa Madzhab ini adalah sesuatu yang shahih? Ataukah justeru merupakan hal yang bathil?
Dari fakta di lapangan, dalam perdebatan-perdebatan, kelompok Laa Madzhab kerap mencap golongan lain sebagai ahlul bid’ah. Padahal hal ini tidak ditemukan dalam diskusi-diskusi antar 4 madzhab ASWAJA.
Dalam diskusi-diskusi fiqh antar 4 madzhab ASWAJA, jika terjadi perbedaan pendapat, maka masing-masing pihak akan saling menghargai pendapat pihak lain, tidak memaksakan pendapat, apalagi mencap pihak lain sebagai ahlul bid’ah.
Mudahnya kelompok Laa Madzhab menyebut golongan lain sebagai ahlul bid’ah itu tak lepas dari paham Laa Madzhab mereka yang mengajarkan agar langsung saja melihat Qur`an dan Hadits. Sedangkan hafalan Qur`an dan hadits mereka tidak mencukupi dan ilmu mereka untuk menggali keduanya juga tidak memadai.
Jadi, paham Laa Madzhab justeru dapat memecah-belah kaum Muslimin. Dan sebaliknya, beriltizam kepada salah satu madzhab ASWAJA dapat menjaga ukhuwwah Islamiyyah.
Kemudian, Laa Madzhab, dimana seseorang yang awwam tidak beriltizam kepada salah satu madzhab adalah bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah.
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada Ahladz Dzikr jika kalian tidak mengetahui [QS. An-Nahl: 43]
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Siapa yang bicara tentang al-Qur`an tanpa ilmu, maka siapkanlah tempat duduknya berupa api neraka. [Sunan al-Kubra an-Nasa`i no. 8084 atau 8030 dalam cetakan lainnya; Musnad Ahmad no.2069, 2429; Mu’jamul Kabir ath-Thabrani no.12392; Sunan at-Tirmidzi no. 2950]
مَنْ أُفْتِيَ بِفُتْيَا بِغَيْرِ عِلْمٍ ، كَانَ إِثْمُ ذَلِكَ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ
Siapa yang berfatwa dengan suatu fatwa tanpa ilmu, maka dosanya ditanggung yang berfatwa. [Musnad Ahmad no.8761; Sunan al-Kubra al-Bayhaqi no.20353; al-Mustadrak ‘alash Shahihain no.350]
Ayat 43 dari surat an-Nahl menjelaskan bahwa orang awam itu hendaknya pergi bertanya kepada Ahladz Dzikr. Adz-Dzikr bisa berarti Kitabullah atau al-Qur`an. Maka Ahladz Dzikr dapat berarti Ahlul Qur`an, yaitu orang yang benar-benar memahami al-Qur`an. Untuk mencapai derajat tersebut, setidaknya harus menguasai 15 cabang ilmu agama. Selain itu, seorang mujtahid juga harus hafal seluruh al-Qur`an dan juga hadits dalam jumlah tertentu. Dan derajat seperti itu telah dicapai oleh para mujtahid, terutama para mujtahid muthlaq seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Ahmad.
Maka jelaslah bahwa Laa Madzhab justeru merupakan perkara yang bertentangan dengan Qur’an dan Hadits. Seharusnya orang awam itu pergi kepada Ahludz Dzikr untuk menanyakan persoalan agamanya. Dan bukannya pergi kepada orang-orang jahil yang berfatwa tanpa ilmu yang benar.
Imam Ahmad, murid dari Imam asy-Syafi’i, selain telah menghafal Qur`an, menguasai setidaknya 15 cabang ilmu agama, juga telah menghafal setidaknya 1 juta hadits. Inilah murid al-Imam asy-Syafi’i yang kemudian menjadi mujtahid muthlaq. Beliau membangun Ushul Fiqh sendiri, beristinbat, berfatwa, dan membangun madzhab sendiri.
Ulama-ulama yang telah mencapai derajat mujtahid muthlaq seperti itu boleh kita ikuti. Mengikuti salah satu dari mereka dengan benar-benar memegang salah satu madzhab mereka inilah yang disebut bermadzhab.
Adapun orang awam yang tidak memahami Qur`an dan Hadits dengan benar, atau penuntut ilmu yang belum mencapai derajat mujtahid, maka tidak dibenarkan bagi mereka untuk beristinbat menggali dalil dan apalagi berfatwa.
Ibnu Taymiyyah menyebut orang-orang yang tak mau bermadzhab, padahal ia bukan mujtahid muthlaq, sebagai ahlul ahwa. Hal ini disebabkan mereka berfatwa tanpa ilmu dengan menuruti nafsunya saja. Dan orang yang berfatwa tanpa ilmu itu tak layak diikuti.
من التزم مذهبا معينا ثم فعل خلافه من غير تقليد لعالم آخر أفتاه و لا استدلال بدليل يقتضي خلاف ذلك و لا عذر شرعي يقتضي حل ما فعله فهو متبع لهواه ، فاعل للمحرم بغير عذر شرعي ، و هذا منكر
Ibnu Taymiyyah berkata: “Barangsiapa memegang (beriltizam dengan) suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid (tanpa pindah madzhab) kepada ‘ulama (mujtahid dari madzhab) lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya (tanpa berijtihad dengan benar), dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar.” [Lihat al-Ushul min ‘Ilmil Ushul oleh al-Utsaymin hlm. 69]
Ibnu Taymiyyah membolehkan pindah madzhab, membenarkan seseorang yang sudah mencapai derajat mujtahid muthlaq untuk membangun madzhab sendiri, tetapi tidak membenarkan mencampur-adukkan madzhab atau pun tidak bermadzhab. Ibnu Taymiyyah hanya membenarkan iltizam kepada salah satu madzhab bagi orang awam. Dan dia mengharamkan orang awam untuk tidak bermadzhab. Mujtahid yang belum mencapai mujtahid muthlaq pun tidak dibenarkan untuk tidak bermadzhab. Setidaknya ia harus berpegang kepada ushul fiqh dari salah satu madzhab.
Muhammad al-Utsaymin menjelaskan bahwa taqlid itu terjadi pada 2 macam orang. Yang pertama : seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang tidak mampu mengetahui hukum (yakni ber-istinbath dan istidlal) dengan kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid. Yang kedua : terjadi pada seorang mujtahid suatu kejadian yang ia harus segera memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan penelitian maka ketika itu ia boleh taqlid. [Lihat al-Ushul min ‘Ilmil Ushul oleh al-Utsaymin hlm. 68]
Maka jelaslah bahwa paham Laa Madzhab ini adalah paham yang berbahaya bagi keselamatan agama orang banyak. Ia merupakan perkara yang bertentangan dengan Qur`an dan Sunnah. Dan ia bukanlah sistem yang dianut oleh salafush shalih dan para pengikut salafush shalih. Ia bukanlah bagian dari paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Fakta di lapangan, ternyata mereka yang mengaku tidak bermadzhab itu taqlid kepada orang-orang yang belum mencapai derajat mujtahid. Orang-orang yang mereka ikuti adalah orang-orang yang tak punya sanad ilmu dan belum mencapai derajat al-Hafizh. Maka jelaslah bahwa orang-orang yang mereka ikuti itu masih tergolong kepada orang lemah yang jahil yang tak pantas diikuti.
Semoga Allah melindungi kita dan keluarga kita dari paham yang menyelisihi paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah ini. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar